Sabtu, 16 April 2011

MAULID NABI DALAM PRESPEKTIF SEJARAH



Dalam pengajian pengajian maulid, para muballigh dalam surau surau sering mengumandangkan ucapan ucapan yang di klaim sebagai sabda nabi SAW. Ucapan ucapan itu adalah “ Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, maka kelak ia akan tinggal di surga bersamaku. Atau hadis hadis lain seperti “ Barang siapa mendermakan satu dirham untuk merayakan hari kelahiranku maka tak ubahnya dia mendermakan emas sebesar Gunung Uhud”. Dan lain sebagainya..
Hadis hadis ini dalam kitab kitab koleksi Hadis yang Muktabar ( Kitab yang secara ilmiyah dapat dijadikan standar rujukan Hadis) tidak pernah didapati. Apakah gerangan para penulis Hadis lupa sehingga tidak mencantumkan “hadis hadis” itu dalam kitab kitab mereka., atau “hadis hadis” itu tidak pernah ada karena memang nabi SAW tidak pernah bersabda seperti itu.
Seandainya hadis hadis itu pernah ada karena Nabi SAW pernah bersabda demikian, sedangkan para penulis hadis lupa sehingga tidak mencantumkannya didalam kitab kitab mereka, maka paling tidak ada catatan yang menunjukan bahwa para Sahabat Nabi SAW, para Tabi’in dan para Ulama’ Salaf pernah mengamalkan maksud hadis hadis tersebut. Namun catatan tersebut tidak ada. Bahkan sampai awal abad ke tujuh hijriyah belum ada catatan yang menunjukkan adanya ulama’ atau tokoh sejarah yang mengamalkan maksud hadis hadis tersebut, atau dengan kata lain, sampai awal abad ke – 7 hijri belum ada seoranpun yang mengamalkan maksud hadis hadis tersebut. Karena memang hadis hadis tersebut tidak pernah ada dalam sejarah.
Apabila pada masa belakangan hadis hadis tersebut beredara di kalangan masyrakat, maka dapat dipastikan bahwa hal itu merupakan bikinan orang orang belakangan, sehinggga menurut disiplin Ilmi Hadis, hadis hadis maulid tersebut disebut sebagai hadis palsu atau hadis maudhu’, karena Nabi Muhammad SAW, tidak pernah bersabda demikian.

Al – Malik Al – Mudhoffar
Syeh Ali Tantowi ( W. 1412 H ) dalam kitabnya Rijal min al Tarikh ( tokoh sejarah ) menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan Maulid Nabi SAW adalah Al – Malik Al – Mudhoffar. Ia adalah salah seorang panglima perang pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin Al – Ayyubi. Gelar Al – Malik di sandangnya tidak menunjukkan bahwa ia adalah seorang kepala negara, sebab kepala daerah pada masa itu juga disebut al – malik .
Al – Malik Al – Mudhoffar disamping dikenal sebagai panglima perang yang gagah berani juga dikenal sebagai pemimpin yang adil dan dermawan. Sampai Al – Qodhi Ibnu Khallikan yang hidup semasa dengannya merasa kagum dengan sifat kedermawannya itu. Hal itu karena Al – Malik Al – Mudhoffar tidak hanya membantu orang orang tidak mampu, mendirikan rumah sakir - rumah sakit dan penginapan penginapan gratis, melainkan ia tercatat sebagai orang pertama yang menyediakan air yang berlimpah ruah pada malam Wukuf di Arafah, padahal malam itu semua orang yang sedang menunaikan ibadah haji kesulitan memperoleh air.

Festival Maulid
Sejarawan terkemuka Al – Qodhi Ibnu Khallikan menuturkan bahwa perayaan maulid nabi diadakan oleh Al – Malik Al – Mudhoffar pada saat itu bukanlah acara keagamaan seperti layaknya sebuah majlis taklim, atau pengajian dan sebagainya. Tetapi lebih tepat di sebut sebagai Pasar Malam, Pesta Maulid atau Festival Maulid . Kota Irbil di Irak pada saat itu penuh di banjiri manusia. Mereka datang dari berbagai penjuru kota dan daerah daerah sekitar seraya membawa barang barang dagangan dan hasil kerajinannya. Tenda tenda juga di pasang disana sini, di hiasi bendera umbul umbul dan lampu lampu warna warni. Perayaan dimulai pada bulan Shofar. Dan sejak itulah sekolah sekolah di liburkan. Para artis baik penyanyi, pemain drama dan lain sebagainya juga tidak ketinggalan setiap malam ikut ambil bagian untuk menampilkan kebolehannya. Sementara Al – Malik Al – Mudhoffar tiap malam berkeliling ke arena arena pertunjukan sambil membagi bagikan hadiah.
Puncak acara perayaan maulid itu diadakan pada tanggal delapan atau dua belas robi’ul awal. Pertama kali, ribuan binatang ternak, terdiri dari domba, sapi dan onta diarak keliling arena, di iringi bunyi bunyian genderang, rebana, terompet dan sebagainya, marching band, kalau zaman sekarang. Sementara orang orang mengikuti dari belakang sambil mengibarkan bendera bendera warna warni. Sebagian ada yang meniup seruling. Ribuan binatang ternak itu selanjutnya di sembelih untuk di konsumsi ’Perayaan Maulid’ sesudah sembayang isya’, Al – Malik Al – Mudhoffar keluar dari Istana dengan membawa lilin besar. Kemudian diikuti oleh orang orang banyak, dan semuanya membawa obor. Mereka berjalan berarak arakan menuju tempat yang biasa dipakai berkhalwat oleh orang orang sufi.
Esok harinya, Al – Malik Al – Mudhoffar duduk di panggung kehormatan yang berada di pinggir alun alun, bersama para pejabat pemerintah lainnya. Acara perayaan dimulai dengan parade militer. Lalu disusul oleh jama’ah orang orang sufi dan para penyair. Kemudian susul oleh rombongan pelajar. Dan yang paling belakang adalah orang orang biasa. Setelah semuanya berkumpul di alun alun, para ahli pidato tampil satu persatu untuk menunjukkan kebolehannya dalam berpidato. Setelah mereka selesai, kini para penyair satu persatu membacakan pusi. Sementara Al – Malik Al – Mudhoffar sudah menyiapkan hadiah hadiah menarik untuk mereka. Sesudah penampilan penampilan itu selesai, acara di tutup dengan makan bersama.
Untuk mengabadikan peristiwa itu, Al – Hafidh Ibnu Dihyah menulis buku tentang perayaan maulid, dan buku itu merupakan buku yang pertama kali membahas tentang perayaan maulid. Dan itulah tadi peringan maulid atau perayaan Maulid Nabi yang diadadakan pertama kali dalam sejarah. Sedang empunya, Al – Malik Al – Mudhoffar tadi wafat pada malam rabu 18 ramadhan 630 H.

Kontroversial
Sampai saat ini para ulama’ masih berbeda pendapat tentang hukum merayakan maulid Nabi SAW, Mufti Besar Kerajaan Saudi Arabiah, Syeh Abdul Aziz bin Baz ( w. 1412 H) berpendapat bahwa mengadakan perayaan Maulid Nabi SAW, itu tidak pernah di contohkan oleh Nabi Muhammad Saw, maupun para sahabat beliau, begitu pula para Tabi’in dan para Ulama’ Salaf. Memperingati hari kelahiran Nabi SAW, termasuk perbuatan mengada ada dalam agama, atau menurut istilah yang populer adalah bid’ah. Karena itu hukumnya Haram.
Sementara ulama’ lain seperti Syeh Ali Tatowi yang disebut di muka tadi itu, dan juga menjadi pengasuh acara Nurwa hidayah dalam telivisi Saudi Arabia, begitu pula syeh dr. Ahmad Al – Syrbashi dalam kitabnya Yas’alunka fi Al – Din Wa Al – Hayah berpendapat bahwa peringatan maulid Nabi SAW, itu perlu dilihat isinya. Apabila peringatan itu diisi dengan pengajian agama, penerangan tentang sejarah kehidupan Nabi SAW, agar ditiru oleh umatnya, maka hal itu perlu dilakukan dan di kerjakan, sebab acara semacam itu pada hakikatnya adalah pekerjaan ma’ruf yang perlu dilakukan setiap saat. Namun apabila Peringan Maulid Nabi Saw, itu diisi dengan acara maksit, pemborosan , kemungkaran, dan lain sebagainya, maka kedua tokoh tersebut sependapat bahwa itu hukumnya tidak boleh atau haram.
Namun yang perlu di catat disini bahwa dalam hal peringatan Maulid Nabi SAW, itu di perbolehkan, para ulama’ tidak berbeda pendapat bahwa penggunaan ‘Hadis Hadis Maulid ’ seperti yang disebutkan didepan itu hukumnya tidak boleh. Sebab menggunakan, menyebutkan atau menyampaikan hadis hadis tersebut berarti menisbahkan ucapan ucapan kepada Nabi Muhammad SAW, sementara beliau tidak pernah bersabda seperti itu, perbuatan inilah yang antara lain diancam oleh Nabi SAW sendiri dalam sabdanya” barang siapa dengan sengaja mendustakan saya, maka hendaknya ia siap siap duduk diatas bara api neraka.”

PROF. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA
Dalam bukunya : ISLAM MASAKINI